Forex Dalam อิสลาม Mui


Hukum Trading Forex Menurut MUI ฮาลาล Atau Haram Hukum Trading Forex Menurut MUI Halal atau Haram Mengingat banyaknya yang mempertanyakan apa hukum trading forex menurutIslam (meski sudah banyak dikupas) maka berikut ini saya เผยแพร่ artikel dari Gainscope tentang FATWA MUI TENTANG TRADING FOREX. Di luar sana berkembang juga pendapat yang bersebarangan dengan fatwa MUI ini di mana mereka tetap berpendirian pada bahwa trading forex adalah HARAM dengan hujjahargumen yang mereka pegangi. ในฐานะที่เป็นผู้ที่มีส่วนเกี่ยวข้อง Keputusan berpulang Pada and Ada di Tangan Anda. Selamat membaca. Fatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan Yang pasti ditanyakan โดยผู้ค้าเซรามิคอินโดนีเซีย: 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Hawal 3. Apakah Trading Forex Dumbam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita บทความหลัก: Forex Dalam Hukum ศาสนาอิสลาม Dalam bukunya ศ. ดุษฎีบัณฑิต Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum อิสลาม, Forex การซื้อขายแลกเปลี่ยนเงินตรา (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. การตรวจสอบความถูกต้องของการตรวจสอบ การดำเนินการ (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketiantuan ส่งให้เพื่อนและคนอื่น ๆ ที่อยู่ใกล้ปากต่อปาก negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. โดยไม่คำนึงถึงระยะเวลาที่กำหนดไว้ในที่นี้ BURSA atau PASAR yang bersifat internacional and dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang sura negara neggan lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan and penawarannya. Adanya permintaan and penalaran yin menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. อาดายาอิบาบอบูล --- gt Ada perjanjian to your member and menerima เปลี่ยนสีให้หมดและอื่น ๆ อีกมากมาย Ijab-Qobulnya dilakukan เหล้าองุ่น, ชอปปิ้งอื่น ๆ . (อ่านเพิ่มเติม) โดยใช้วิธีการดังต่อไปนี้ 2. การตอบสนองต่อความต้องการของผู้ใช้งาน: 2. กำหนดเวลาการใช้งานของคุณโดยเร็วที่สุด: การกำหนดค่าใช้จ่าย (Dash) จะถูกส่งไปยัง Dashat โดยใช้รหัสผ่านที่ถูกต้อง atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, อิสลามในอิสลาม Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli ยาง demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal และ Al Baihaqi จาก Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat haru diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. ในขณะที่ยังไม่ได้ระบุ Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak whenyar, ศิลปะการวาดภาพของ atau membatalkan july belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat อัล Daraquthni จากอาบู Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak whenyar jika ia telah melihatnya. Jual beli ได้รับการแต่งตั้งให้เป็นผู้มีส่วนร่วมในการเลือกตั้ง, พรรคประชาธิปัตย์, พรรคประชาธิปไตย, อัครราชทูต, ผู้พิทักษ์สิทธิมนุษยชน, ผู้พิทักษ์สิทธิมนุษยชน, ผู้พิทักษ์สิทธิมนุษยชน, ผู้พิทักษ์สิทธิมนุษยชน, ผู้พิทักษ์สิทธิมนุษยชน. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum อิสลาม: 8220Kesulitan itu menarik kemudahan.8221 Demikian juga jual beli barang-barang yah telah terbungkustertutup, seperti kalangan kalangan, แก๊ส LPG, และ sebagainya, asalkam diberi ป้ายชื่อหยาง menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. ซีไอ ห้องโถง 135. Mengenai teks kaidah hukum ศาสนาอิสลาม tersebut di atas, vide อัล Suyuthi, อัลอัล Ashbah วาลาคลอด, Mesir มุสตาฟามูฮัมหมัด 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM ในฐานะที่เป็นรัฐมนตรีว่าการกระทรวงการต่างประเทศมาเลเซียและรัฐมนตรีว่าการกระทรวงการต่างประเทศ ความช่วยเหลือทางการเงินที่มีอยู่ในต่างประเทศที่เกิดขึ้นในต่างประเทศโดยไม่ได้รับอนุญาตให้ดำเนินการโดยเร็วที่สุดเท่าที่จะเป็นไปได้ ส่งออกไปยังประเทศอินโดนีเซียส่งออกไปยังประเทศที่มีการส่งออก, นำเข้าส่งออก, อินโดนีเซียส่งออกไปยังประเทศอื่น ๆ . Dengan demikian akan timbul ผู้จัดจำหน่ายและผู้ค้าส่งสัตว์เลี้ยง. การตั้งค่าขั้นต่ำของการดำเนินการขั้นตอนการกำหนดเส้นทางการเรียนรู้ (อัตราการเข้าร่วมกิจกรรม) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000 อัตราแลกเปลี่ยนเงินตราต่างประเทศที่ระบุไว้ในตารางต่อไปนี้เป็นวิธีที่ดีที่สุดสำหรับการสร้างรายได้ (AWJ Tupanno, et. al. Ekonomi and Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia หมายเลข: ยังไม่ได้ระบุวันที่เข้าพัก: 28DSN-MUIIII2002 เต็นท์ Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (อัล - ชาร์ฟ), baik antar มาระที่มีการสร้างขึ้นเพื่อป้องกันการก่อการร้าย. ข Bahwa dalam urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang สถานะ hukumnya dalam pandangan ajaran ศาสนาอิสลาม berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. ค Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran อิสลาม, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang อัล - Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman อัลเลาะห์, QS Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli and mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi and Ibnu Majah จาก Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli ita hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR albaihaqi จากประเทศอิบาดะห์และ dinilai shahih oleh Ibnu Hibban) 3. มุสลิม Hadis Nabi Riwayat, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, และ Ibn Majah, dengan teks มุสลิมจาก Ubadah bin Shamit, Nabi ได้เห็น bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, และ garam dengan garam (denga syarat harus) ในประเทศซาอุดีอาระเบียและประเทศซาอุดีอาระเบีย Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai .. 4. Hadis Nabi riwayat มุสลิม Tirmidzi, Nasai, อาบู Daud, อิบัน Majah และอาห์หมัดจาก Umar bin Khattab, Nabi เห็น bersabda: (Jual - beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai 5. Hadis Nabi riwayat มุสลิมจาก Abu Said al-Khudri, Nabi เห็น bersabda: Janganlah kamu menjual emas denas ems kecuali sam (nilainya) และ janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sam (nilainya) และ janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain และ janganlah menjual emas and perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat มุสลิมจาก Bara bin Azib และ Zaid bin Arqam Rasulullah เห็น melarang menjual เป็ก dengan emas secara piutang (tidak tunai) 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalandan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. มีการจัดทำเอกสารประกอบการพิจารณา 8. Ijma Ulama sepakat (ijma) bah bah bah bah bah bah bah bah bah bah bah bah bah dis dis dis dis dis dis dis dis dis dis dis dis dis UUS2878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional โดย Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF) Pertama ระยะเวลาที่กำหนดไว้สำหรับระยะเวลาที่กำหนดไว้ 1. ระยะเวลาที่กำหนดไว้ 2. Ada kebutuhan transaksi atau vuk berjaga-jaga (simpanan). 3. อัมพาตทรานแซซิสดีพลาซาเทอร์มาด (ประเทศไทย) ได้รับการแต่งตั้งให้เป็นนายร้อยตำรวจเอกสายการบินแห่งประเทศไทย (กทพ.) 4. ความแตกต่างของอัตราการเข้าชม (kurs) yang berlaku pada saat transaksi และ secara tunai. kedua Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian และ penjualan valuta asing ไม่ให้ penyerahan pada saat itu (ผ่านทางเคาน์เตอร์) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, เซี่ยงไฮ้ waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisi dihindari และ merupakan transaksi internasional. 2. ส่งต่อ FORWARD, yaitu transaksi pembelian และ penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang และ diberlakukan untuk waktu yang akang datang, antara 2x24 แยม sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan, adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) and dannyyan dariusanan hari, dahai harga padaatan penguuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuui hajah) 3. Transaksi SWAP มีความยินดีที่จะได้รับความช่วยเหลือจากเจ้าหน้าที่ของรัฐ Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi) 4. ตัวเลือกที่จำเป็นต้องใช้ในการดำเนินการให้เสร็จสิ้นโดยเร็วที่สุดในขณะนี้เพื่อให้แน่ใจว่าการดำเนินการดังกล่าวเป็นไปตามหลักเกณฑ์ที่กำหนดโดยหน่วยงานที่กำหนดไว้ล่วงหน้าโดยใช้วิธีการระบุไว้ในที่นี้ tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi) Ketiga Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan kettle jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah และ disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIA Tulisan lain yang menguatkan adalah sebagaimana ditulis โดยดร. โมฮัมเหม็ด Obaidullah di บาล ini tentang การเทรดดิ้ง FOREX ISLAMIC. 1. ข้อตกลงการแลกเปลี่ยนเงินตราต่างประเทศ (Basic Exchange Contracts) มีความเห็นเป็นเอกฉันท์ในหมู่นักนิติศาสตร์ของอิสลามว่ามุมมองของสกุลเงินต่างประเทศสามารถแลกเปลี่ยนกันได้ในอัตราที่แตกต่างจากความสามัคคีเนื่องจากสกุลเงินต่างประเทศเป็นหน่วยงานที่แตกต่างกันโดยมีมูลค่าหรือมูลค่าที่แท้จริง และกำลังซื้อ ดูเหมือนว่าข้อตกลงทั่วไปในหมู่นักวิชาการส่วนใหญ่ยังคงเป็นข้อตกลงทั่วไปในมุมมองว่าการแลกเปลี่ยนสกุลเงินในรูปแบบการส่งต่อไม่ได้รับอนุญาตนั่นคือเมื่อสิทธิและหน้าที่ของทั้งสองฝ่ายเกี่ยวข้องกับวันที่ในอนาคต อย่างไรก็ตามมีความเห็นแตกต่างกันมากในหมู่ลูกขุนเมื่อสิทธิของคู่สัญญาฝ่ายใดฝ่ายหนึ่งเช่นเดียวกับข้อผูกพันของคู่สัญญาจะถูกเลื่อนออกไปให้ถึงวันที่ในอนาคต ให้เราพิจารณาตัวอย่างของบุคคลสองคน A และ B ที่อยู่ในสองประเทศที่แตกต่างกันคืออินเดียและสหรัฐอเมริกาตามลำดับ ตั้งใจจะขายรูปีอินเดียและซื้อเหรียญสหรัฐฯ การสนทนาเป็นจริงสำหรับ B. อัตราแลกเปลี่ยนรูปีสกุลเงินดอลลาร์ที่ตกลงกันไว้คือ 1:20 และการทำธุรกรรมเกี่ยวข้องกับการซื้อและขาย 50 สถานการณ์แรกคือ A ทำให้การชำระเงินจุด Rs 1000 ให้ B และยอมรับการชำระเงิน 50 จาก B การทำธุรกรรมจะได้รับการชำระบัญชีจากจุดปลายทั้งสองอย่าง การทำธุรกรรมดังกล่าวถูกต้องและถูกต้องตามกฎหมาย ไม่มีสองความคิดเห็นเกี่ยวกับเรื่องเดียวกัน ความเป็นไปได้ที่สองคือการตั้งถิ่นฐานของการทำธุรกรรมจากปลายทั้งสองจะเลื่อนออกไปเป็นวันที่ในอนาคตหลังจากหกเดือนนับจากนี้ ซึ่งหมายความว่าทั้ง A และ B จะทำและยอมรับการชำระเงินของ Rs 1000 หรือ 50 แล้วแต่กรณีหลังจากหกเดือน มุมมองที่เด่นชัดคือสัญญาดังกล่าวไม่ได้รับอนุญาตตามหลักศาสนาอิสลาม มุมมองของชนกลุ่มน้อยถือว่ามันได้รับอนุญาต สถานการณ์ที่สามคือการทำธุรกรรมบางส่วนถูกตัดสินจากปลายด้านหนึ่งเท่านั้น ตัวอย่างเช่น A จะชำระเงินให้ Rs1000 ให้กับ B แทนคำสัญญาโดย B เพื่อจ่ายเงินให้เขา 50 หลังหกเดือน อีกทางเลือกหนึ่งคือยอมรับ A 50 จาก B และสัญญาว่าจะจ่ายเงินให้กับ Rs 1000 หลังจากหกเดือน มีมุมมองที่ตรงกันข้ามกับความยินยอมของสัญญาดังกล่าวซึ่งเป็นผลให้เกิดการเบิกบานสกุลเงิน วัตถุประสงค์ของบทความนี้คือเพื่อเสนอการวิเคราะห์ที่ครอบคลุมของอาร์กิวเมนต์ต่างๆในการสนับสนุนและต่อต้านการอนุญาตของสัญญาขั้นพื้นฐานเหล่านี้ที่เกี่ยวข้องกับสกุลเงิน รูปแบบแรกของการทำสัญญาที่เกี่ยวกับการแลกเปลี่ยนค่าทัดเทียมกับจุดที่อยู่นอกเหนือข้อโต้แย้งใด ๆ ความยินยอมหรืออย่างอื่นของสัญญาฉบับที่สองซึ่งการส่งมอบ countervalues ​​หนึ่งรายการจะเลื่อนไปสู่วันที่ในอนาคตโดยทั่วไปจะกล่าวถึงในกรอบของ riba prohibitions ดังนั้นเราจึงหารือเกี่ยวกับสัญญาฉบับนี้ในรายละเอียดในส่วนที่ 2 เกี่ยวกับปัญหาการห้าม riba ความยินยอมของรูปแบบที่สามของสัญญาที่ส่งมอบทั้ง countervalues ​​ถูกเลื่อนออกไปโดยทั่วไปจะถูกกล่าวถึงภายในกรอบของการลดความเสี่ยงและความไม่แน่นอนหรือ gharar ที่เกี่ยวข้องกับสัญญาดังกล่าว นี่เป็นหัวข้อหลักของหัวข้อ 3 ที่เกี่ยวข้องกับปัญหา gharar ส่วนที่ 4 พยายามที่มุมมองแบบองค์รวมของอิสลามเกี่ยวข้องกับปัญหาเช่นเดียวกับความสำคัญทางเศรษฐกิจของรูปแบบพื้นฐานของการทำสัญญาในตลาดสกุลเงิน 2. ประเด็นเรื่องการห้าม Riba ความแตกต่างของมุมมองข้อ 1 เกี่ยวกับความยินยอมหรืออย่างอื่นในการทำสัญญาแลกเปลี่ยนสกุลเงินสามารถสืบเนื่องมาจากปัญหาข้อห้าม riba ความจำเป็นในการกำจัด riba ในทุกรูปแบบของสัญญาแลกเปลี่ยนมีความสำคัญสูงสุด Riba ในบริบทของอิสลามโดยทั่วไปหมายถึงว่าเป็นการได้รับผลประโยชน์ที่ไม่ชอบด้วยกฎหมายจากความไม่เท่าเทียมเชิงปริมาณของการทรานแซ็คชั่นในการทำธุรกรรมใด ๆ ที่อ้างว่ามีผลต่อการแลกเปลี่ยนสองชนิดหรือมากกว่า (anwa) ซึ่งอยู่ในประเภทเดียวกัน (jins) และถูกควบคุมโดย สาเหตุที่มีประสิทธิภาพเช่นเดียวกัน (illa) Riba โดยทั่วไปจะแบ่งเป็น riba al-fadl (ส่วนที่เกิน) และ riba al-nasia (deferment) ซึ่งแสดงถึงข้อได้เปรียบที่ผิดกฎหมายโดยส่วนเกินหรือการผัดผ่อนตามลำดับ ข้อห้ามของอดีตจะทำได้โดยการระบุว่าอัตราแลกเปลี่ยนระหว่างวัตถุเป็นเอกภาพและไม่ได้รับอนุญาตใด ๆ ที่ได้รับอนุญาตให้ฝ่ายหนึ่งฝ่ายใด ห้ามใช้ riba หลังโดยไม่อนุญาตการชำระบัญชีรอตัดบัญชีและทำให้มั่นใจได้ว่าธุรกรรมดังกล่าวจะได้รับการตัดสินโดยคู่สัญญาทั้งสองฝ่าย รูปแบบอื่นของ riba เรียกว่า riba al-jahiliyya หรือ pre-Islamic riba ซึ่งมีพื้นผิวเมื่อผู้ให้กู้ถามผู้ยืมในวันที่ครบกำหนดหากหนี้ดังกล่าวจะชำระหนี้หรือเพิ่มขึ้นเช่นเดียวกัน การเพิ่มขึ้นมาพร้อมกับการเรียกเก็บดอกเบี้ยจากจำนวนที่ยืมครั้งแรก ข้อห้ามของ riba ในการแลกเปลี่ยนเงินตราต่างประเทศต้องใช้กระบวนการเปรียบเทียบ (qiyas) และในการออกกำลังกายใด ๆ ที่เกี่ยวข้องกับการเปรียบเทียบ (กิยาส) สาเหตุที่มีประสิทธิภาพ (illa) มีบทบาทสำคัญอย่างยิ่ง มันเป็นสาเหตุที่มีประสิทธิภาพโดยทั่วไป (illa) ซึ่งเชื่อมโยงวัตถุของการเปรียบเทียบกับเรื่องของมันในการออกกำลังกายของเหตุผลแบบอะนาล็อก สาเหตุที่มีประสิทธิภาพเหมาะสม (illa) ในกรณีของสัญญาแลกเปลี่ยนเงินตราต่างประเทศได้รับการกำหนดโดยโรงเรียนใหญ่ ๆ ของ Fiqh ความแตกต่างนี้สะท้อนให้เห็นในเหตุผลที่คล้ายกันสำหรับสกุลเงินกระดาษที่เป็นของประเทศต่างๆ คำถามเกี่ยวกับความสำคัญอย่างมากในกระบวนการของการให้เหตุผลที่คล้ายคลึงกันนั้นเกี่ยวข้องกับการเปรียบเทียบระหว่างสกุลเงินกระดาษกับทองคำและเงิน ในช่วงแรกของศาสนาอิสลามทองและเงินทำหน้าที่ทั้งหมดของเงิน (thaman) สกุลเงินที่ทำจากทองและเงินที่มีค่าที่รู้จักกันภายใน (จำนวนควอนตัมของทองหรือเงินที่มีอยู่ในพวกเขา) สกุลเงินดังกล่าวได้รับการอธิบายว่าเป็น thaman haqiqi หรือเป็นวรรณคดีในหนังสือ Fiqh เหล่านี้เป็นที่ยอมรับกันดีในระดับสากลว่าเป็นวิธีการแลกเปลี่ยนทางการเงินที่สำคัญสำหรับการทำธุรกรรม สินค้าโภคภัณฑ์อื่น ๆ อีกหลายอย่างเช่นโลหะที่ด้อยกว่าต่างๆยังเป็นเครื่องมือในการแลกเปลี่ยน แต่มีข้อ จำกัด ในการยอมรับ เหล่านี้ถูกอธิบายว่าเป็น fals ในวรรณคดี Fiqh เหล่านี้เรียกว่า Thaman Istalahi เนื่องจากข้อเท็จจริงที่ว่าการยอมรับของพวกเขาไม่ได้มาจากคุณค่าที่แท้จริง แต่เป็นเพราะสถานะที่สอดคล้องกับสังคมในช่วงเวลาใดเวลาหนึ่ง สกุลเงินสองรูปแบบดังกล่าวข้างต้นได้รับการปฏิบัติอย่างแตกต่างกันโดยนักนิติศาสตร์ชาวมุสลิมในยุคแรกจากมุมมองที่อนุญาตให้มีการทำสัญญากับพวกเขา ปัญหาที่ต้องแก้ไขคือว่าสกุลเงินของกระดาษในยุคปัจจุบันอยู่ภายใต้ประเภทเดิมหรือประเภทหลัง มุมมองหนึ่งคือว่าควรจะปฏิบัติตามข้อตกลงกับทองหล่อหรือทองคำเพราะนี่เป็นวิธีการหลักในการแลกเปลี่ยนและหน่วยบัญชีเช่นเดียวกับในสมัยก่อน ดังนั้นด้วยเหตุผลที่คล้ายคลึงกันทุกบรรทัดฐานที่เกี่ยวกับศาสนาอิสลามและคำสั่งห้ามที่ใช้บังคับกับการ thaman haqiqi ควรใช้กับสกุลเงินกระดาษด้วย การแลกเปลี่ยนของ thaman haqiqi เรียกว่า bai-sarf และด้วยเหตุนี้การทำธุรกรรมในสกุลเงินของกระดาษควรเป็นไปตามกฎของ Sharia ที่เกี่ยวข้องกับ bai-sarf มุมมองตรงกันข้ามยืนยันว่าสกุลเงินของกระดาษควรได้รับการปฏิบัติในลักษณะที่คล้ายคลึงกับเท็จหรือ thaman istalahi เพราะความจริงแล้วว่ามูลค่าของพวกเขาต่างจากมูลค่าที่แท้จริงของพวกเขา การยอมรับของพวกเขามาจากสถานะทางกฎหมายภายในประเทศหรือความสำคัญทางเศรษฐกิจของโลก (เช่นในกรณีของเหรียญสหรัฐฯเป็นต้น) 2.1 การสังเคราะห์มุมมองทางเลือก 2.1.1 เหตุผลที่มีเหตุผลคล้ายคลึงกัน (Qiyas) สำหรับ Riba ห้ามข้อห้ามของ riba อยู่บนพื้นฐานของธรรมเนียมว่าผู้เผยพระวจนะอันศักดิ์สิทธิ์ (สันติภาพจงมีต่อเขา) กล่าวว่า "ขายทองคำทองเงินสำหรับเงินข้าวสาลีสำหรับข้าวสาลีข้าวบาร์เลย์สำหรับข้าวบาร์เลย์วันที่สำหรับวันที่" เกลือสำหรับเกลือในปริมาณที่เท่ากันที่จุดและเมื่อสินค้าโภคภัณฑ์แตกต่างกันขายตามที่คุณต้องการ แต่ตรงจุด ดังนั้นข้อห้ามของ riba นำไปใช้กับโลหะมีค่าสองชนิด (ทองและเงิน) และสินค้าอื่น ๆ อีก 4 ชนิด (ข้าวสาลีข้าวบาร์เลย์วันและเกลือ) นอกจากนี้ยังใช้โดยการเปรียบเทียบ (กิยาส) กับทุกสายพันธุ์ที่ถูกควบคุมโดยสาเหตุที่มีประสิทธิภาพเช่นเดียวกัน (illa) หรือซึ่งเป็นของหนึ่งในหกชนิดที่อ้างถึงในประเพณี อย่างไรก็ตามไม่มีข้อตกลงทั่วไปในโรงเรียนต่างๆของ Fiqh และแม้กระทั่งนักวิชาการของโรงเรียนเดียวกันเกี่ยวกับนิยามและระบุถึงสาเหตุที่มีประสิทธิภาพ (illa) ของ Riba สำหรับ Hanafis สาเหตุที่มีประสิทธิภาพ (illa) ของ riba มีสองมิติ: สิ่งของที่แลกเปลี่ยนกันอยู่ในสกุลเดียวกัน (jins) เหล่านี้มีน้ำหนัก (wazan) หรือความสามารถในการวัดได้ (kiliyya) ถ้าในการแลกเปลี่ยนที่กำหนดทั้งสององค์ประกอบของสาเหตุที่มีประสิทธิภาพ (illa) มีอยู่นั่นคือ countervalues ​​แลกเปลี่ยนอยู่ในประเภทเดียวกัน (jins) และมีน้ำหนักหรือวัดได้ทั้งหมดแล้วกำไรไม่ได้รับอนุญาต (อัตราแลกเปลี่ยนต้อง เท่ากับความสามัคคี) และการแลกเปลี่ยนต้องเป็นไปตามจุด ในกรณีของทองและเงินทั้งสององค์ประกอบของสาเหตุที่มีประสิทธิภาพ (illa) คือความสามัคคีของสกุล (jins) และความสามารถในการชั่งน้ำหนัก นี่เป็นมุมมอง Hanbali ตามหนึ่ง version3 (รุ่นอื่นคล้ายคลึงกับมุมมองของ Shafii และ Maliki ดังที่ได้กล่าวไว้ด้านล่าง) ดังนั้นเมื่อทองคำแลกกับทองคำหรือเงินจะแลกเป็นเงินให้อนุญาตเฉพาะการทำธุรกรรมโดยไม่ได้รับผลประโยชน์ใด ๆ นอกจากนี้ยังอาจเป็นไปได้ว่าในการแลกเปลี่ยนที่กำหนดหนึ่งในสององค์ประกอบของสาเหตุที่มีประสิทธิภาพ (illa) มีอยู่และส่วนอื่น ๆ จะไม่ปรากฏ ตัวอย่างเช่นถ้าสิ่งของแลกเปลี่ยนมีน้ำหนักหรือวัดได้ทั้งหมด แต่ต้องอยู่ในสกุลต่างๆ (jins) หรือถ้าสิ่งของที่แลกเปลี่ยนกันอยู่ในประเภทเดียวกัน (jins) แต่ไม่สามารถชั่งน้ำหนักหรือวัดได้ให้แลกเปลี่ยนกับกำไร (ในอัตราที่แตกต่างจาก ความสามัคคี) เป็นที่ยอมรับได้ แต่การแลกเปลี่ยนต้องเป็นไปตามจุด ดังนั้นเมื่อแลกเปลี่ยนทองเป็นเงินอัตราอาจแตกต่างจากความสามัคคี แต่ไม่อนุญาตให้มีการผ่อนผันการชำระเงิน ถ้าไม่มีองค์ประกอบทั้งสองอย่างที่มีประสิทธิภาพ (ria) ของ riba มีอยู่ในการแลกเปลี่ยนที่กำหนดจากนั้นห้ามใช้คำสั่งห้ามใช้ข้อห้าม riba ใด ๆ การแลกเปลี่ยนอาจเกิดขึ้นโดยมีหรือไม่มีผลกำไรและทั้งในจุดหรือผ่อนผัน พิจารณากรณีการแลกเปลี่ยนเงินตราต่างประเทศที่เป็นเงินตราต่างประเทศการห้ามใช้ riba ต้องมีการค้นหาสาเหตุที่มีประสิทธิภาพ (illa) สกุลเงินที่เป็นของประเทศที่แตกต่างกันเป็นหน่วยงานที่แตกต่างกันอย่างเห็นได้ชัดเหล่านี้คือการซื้อตามกฎหมายภายในขอบเขตทางภูมิศาสตร์เฉพาะที่มีมูลค่าที่แท้จริงหรือกำลังซื้อที่แตกต่างกัน ดังนั้นนักวิชาการส่วนใหญ่อาจยืนยันได้อย่างถูกต้องว่าไม่มีความสามัคคีของสกุล (jins) นอกจากนี้จะไม่สามารถชั่งน้ำหนักและวัดได้ นี้นำไปสู่ข้อสรุปโดยตรงว่าไม่มีองค์ประกอบทั้งสองของสาเหตุที่มีประสิทธิภาพ (illa) ของ riba มีอยู่ในการแลกเปลี่ยนดังกล่าว ดังนั้นการแลกเปลี่ยนอาจเกิดขึ้นได้จากคำสั่งใด ๆ ที่เกี่ยวกับอัตราแลกเปลี่ยนและลักษณะการตั้งถิ่นฐาน ตรรกะที่อยู่ภายใต้ตำแหน่งนี้ไม่ใช่เรื่องยากที่จะเข้าใจ มูลค่าที่แท้จริงของสกุลเงินกระดาษที่เป็นของประเทศต่างๆแตกต่างกันเนื่องจากมีกำลังซื้อที่แตกต่างกัน นอกจากนี้มูลค่าที่แท้จริงหรือมูลค่าของสกุลเงินกระดาษไม่สามารถระบุหรือประเมินได้แตกต่างจากทองคำและเงินซึ่งสามารถชั่งน้ำหนักได้ ดังนั้นไม่สามารถมีการจัดตั้ง riba al-fadl (โดยส่วนที่เกิน) และ riba al-nasia (โดยการผัดผ่อน) โรงเรียน Shafii ของ Fiqh พิจารณาสาเหตุที่มีประสิทธิภาพ (illa) ในกรณีของทองและเงินเป็นทรัพย์สินของพวกเขาเป็นสกุลเงิน (Thamaniyya) หรือสื่อการแลกเปลี่ยนหน่วยบัญชีและเก็บค่า นี่เป็นมุมมองของมาลิกี ตามมุมมองฉบับหนึ่งแม้ว่ากระดาษหรือหนังจะเป็นสื่อกลางในการแลกเปลี่ยนและได้รับสถานะของสกุลเงินแล้วก็ตามกฎทั้งหมดที่เกี่ยวกับ naqdain หรือทองและเงินจะนำมาใช้กับพวกเขา ดังนั้นตามรุ่นนี้การแลกเปลี่ยนที่เกี่ยวข้องกับสกุลเงินของประเทศต่างๆในอัตราที่แตกต่างจากความสามัคคีเป็นที่อนุญาต แต่ต้องถูกตัดสินตามจุด รุ่นอื่น ๆ ของโรงเรียนข้างต้นสองแห่งความคิดคือข้างต้นอ้างเหตุผลที่มีประสิทธิภาพ (illa) ของสกุลเงิน (thamaniyya) เป็นเฉพาะทองและเงินและไม่สามารถทั่วไป นั่นคือวัตถุอื่นใดที่ใช้เป็นสื่อในการแลกเปลี่ยนไม่สามารถรวมอยู่ในหมวดหมู่ของตนได้ ดังนั้นตามรุ่นนี้คำสั่งห้ามใช้กฎหมายอิสลามสำหรับข้อห้าม riba ไม่สามารถใช้ได้กับสกุลเงินของกระดาษ สกุลเงินที่เป็นของประเทศที่แตกต่างกันสามารถแลกเปลี่ยนกับหรือไม่มีกำไรและทั้งในจุดหรือรอการตัดบัญชี ผู้เสนอญัตติในรุ่นก่อน ๆ กล่าวถึงกรณีการแลกเปลี่ยนสกุลเงินกระดาษที่เป็นของประเทศเดียวกันเพื่อป้องกันประเทศของตน ความคิดเห็นที่เป็นเอกฉันท์ของลูกขุนในกรณีนี้คือการแลกเปลี่ยนดังกล่าวจะต้องไม่มีส่วนได้เสียใด ๆ หรือมีอัตราเท่ากับความสามัคคีและต้องได้รับการตัดสินตามจุด อะไรคือเหตุผลพื้นฐานของการตัดสินใจข้างต้นถ้าใครจะคิดว่า Hanafi และตำแหน่ง Hanbali รุ่นแรกแล้วในกรณีนี้มีเพียงหนึ่งมิติของสาเหตุที่มีประสิทธิภาพ (illa) เท่านั้นที่มีอยู่นั่นคือพวกเขาอยู่ในสกุลเดียวกัน (jins ) แต่สกุลเงินกระดาษไม่สามารถชั่งน้ำหนักและไม่สามารถวัดผลได้ ดังนั้นกฎหมายฮานาฟี่เห็นได้ชัดว่าอนุญาตให้มีการแลกเปลี่ยนเงินตราต่างประเทศในปริมาณที่แตกต่างกันตามจุด ในทำนองเดียวกันถ้าสาเหตุที่มีประสิทธิภาพของการเป็นสกุลเงิน (thamaniyya) เป็นเฉพาะเฉพาะกับทองและเงินแล้วกฎหมาย Shafii และมาลิกีก็จะอนุญาตให้เหมือนกัน จำเป็นต้องพูดจำนวนเงินนี้เพื่ออนุญาตการยืมและให้ยืมตาม riba นี้แสดงให้เห็นว่ามันเป็นรุ่นแรกของ Shafii และมาลิกีคิดที่รองรับการตัดสินใจเป็นเอกฉันท์ของข้อห้ามของกำไรและการตั้งถิ่นฐานรอการตัดบัญชีในกรณีของการแลกเปลี่ยนของสกุลเงินที่เป็นของประเทศเดียวกัน ตามที่ผู้เสนอการขยายตรรกะนี้ไปสู่การแลกเปลี่ยนเงินตราต่างประเทศจะหมายความว่าเป็นการแลกเปลี่ยนที่มีอัตรากำไรหรืออัตราที่แตกต่างจากความสามัคคีได้รับอนุญาต (เนื่องจากไม่มีความสามัคคีของ jins) แต่การตั้งถิ่นฐานจะต้องเป็นไปตามจุด 2.1.2 การเปรียบเทียบระหว่างการแลกเปลี่ยนสกุลเงินกับ Bai-Sarf Bai-sarf มีการกำหนดไว้ในวรรณคดี Fiqh ซึ่งเป็นการแลกเปลี่ยนที่เกี่ยวข้องกับ thaman haqiqi ซึ่งหมายถึงทองคำและเงินซึ่งทำหน้าที่เป็นสื่อหลักในการแลกเปลี่ยนสำหรับการทำธุรกรรมที่สำคัญเกือบทั้งหมด ผู้เสนอข้อคิดเห็นว่าการแลกเปลี่ยนสกุลเงินของประเทศต่าง ๆ เช่นเดียวกับ bai-sarf อ้างว่าในยุคปัจจุบันสกุลเงินของหนังสือพิมพ์ได้เปลี่ยนทองและเงินเป็นสื่อกลางในการแลกเปลี่ยนอย่างมีประสิทธิภาพและสมบูรณ์ ดังนั้นโดยการเปรียบเทียบการแลกเปลี่ยนที่เกี่ยวข้องกับสกุลเงินดังกล่าวควรจะถูกควบคุมโดยกฎ Sharia เดียวกันและ injunctions เป็น bai-sarf นอกจากนี้ยังเป็นที่ถกเถียงกันอยู่ว่าหากการชำระเงินรอตัดบัญชีโดยคู่สัญญาฝ่ายใดฝ่ายหนึ่งได้รับอนุญาตจะเป็นการเปิดโอกาสให้ riba-al nasia ฝ่ายตรงข้ามของหมวดหมู่ของการแลกเปลี่ยนสกุลเงินกับ bai-sarf ชี้ให้เห็นว่าการแลกเปลี่ยนรูปแบบของเงินตราทั้งหมด (thaman) ไม่สามารถเรียกว่าเป็น bai-sarf ตามมุมมองนี้ bai-sarf หมายถึงการแลกเปลี่ยนเงินตราต่างประเทศที่ทำด้วยทองคำและเงิน (thaman haqiqi หรือ naqdain) เพียงอย่างเดียวและไม่ใช่ของเงินที่รัฐบาลรัฐระบุไว้ (thaman istalahi) สกุลเงินในปัจจุบันเป็นตัวอย่างของชนิดหลัง นักวิชาการเหล่านี้ได้รับการสนับสนุนในงานเขียนเหล่านี้ซึ่งยืนยันว่าหากสินค้าโภคภัณฑ์แลกเปลี่ยนไม่ได้เป็นทองหรือเงิน (แม้ว่าทองคำหรือเงินเหล่านี้จะเป็นทองคำหรือเงิน) การแลกเปลี่ยนนั้นไม่สามารถเรียกได้ว่าเป็น bai-sarf ข้อกำหนดที่เกี่ยวข้องกับ bai-sarf ยังไม่สามารถใช้กับการแลกเปลี่ยนดังกล่าวได้ ตาม Imam Sarakhsi4 เมื่อ fals ซื้อแต่ละหรือเหรียญที่ทำจากโลหะต่ำกว่าเช่นทองแดง (thaman istalahi) สำหรับ dirhams (thaman haqiqi) และทำให้การชำระเงินจุดของหลัง แต่ผู้ขายไม่ได้ fals ในขณะที่ แล้วการแลกเปลี่ยนดังกล่าวจะได้รับอนุญาต การครอบครองสินค้าที่แลกเปลี่ยนกันโดยทั้งสองฝ่ายไม่ได้เป็นเงื่อนไขเบื้องต้น (ในกรณีของ bai-sarf เป็น) มีการอ้างอิงที่คล้ายคลึงกันซึ่งชี้ให้เห็นว่ากลุ่มนิติบุคคลไม่ได้จัดแบ่งการแลกเปลี่ยนความเท็จ (thaman istalahi) สำหรับคนโง่อื่น thaman istalahi) หรือทองหรือเงิน (thaman haqiqi) เป็น bai-sarf ดังนั้นการแลกเปลี่ยนสกุลเงินของสองประเทศที่แตกต่างกันซึ่งสามารถมีคุณสมบัติเป็น Thaman Istalahi ไม่สามารถจัดหมวดหมู่เป็น bai-sarf ได้ และไม่สามารถกำหนดข้อ จำกัด เกี่ยวกับการระงับข้อพิพาทได้ในธุรกรรมดังกล่าว ควรสังเกตว่าคำนิยามของ bai-sarf เป็นเอกสาร Fiqh และไม่มีการกล่าวถึงเรื่องนี้ในประเพณีอันศักดิ์สิทธิ์ ประเพณีที่กล่าวถึงเกี่ยวกับ riba และการขายและการซื้อทองและเงิน (naqdain) ซึ่งอาจเป็นแหล่งสำคัญของ riba ได้รับการอธิบายว่าเป็น bai-sarf โดยนักกฎหมายอิสลาม นอกจากนี้ควรสังเกตว่าในวรรณคดี Fiqh, bai-sarf หมายถึงการแลกเปลี่ยนทองหรือเงินเท่านั้นว่าเหล่านี้กำลังถูกใช้เป็นสื่อกลางในการแลกเปลี่ยนหรือไม่ แลกเปลี่ยนที่เกี่ยวข้องกับ dinars และ gold เครื่องประดับทั้งคุณภาพเป็น bai-sarf นักนิติศาสตร์หลายคนได้ชี้แจงประเด็นนี้และได้กำหนดให้เป็นที่แลกเปลี่ยนซึ่งทั้งสองสินค้าแลกเปลี่ยนกันอยู่ในลักษณะของการ thaman ไม่จำเป็นต้องเข้าร่วมด้วยตัวเอง ดังนั้นแม้ว่าหนึ่งในสินค้าโภคภัณฑ์มีการประมวลผลทอง (เช่นเครื่องประดับ) การแลกเปลี่ยนดังกล่าวเรียกว่า bai-sarf ผู้สนับสนุนของมุมมองว่าการแลกเปลี่ยนเงินตราควรได้รับการปฏิบัติในลักษณะที่คล้ายคลึงกับ bai-sarf นอกจากนี้ยังได้รับการสนับสนุนจากงานเขียนของนักกฎหมายอิสลามที่มีชื่อเสียง ตามที่อิหม่ามอิบันทามิยะยะทำอะไรที่ทำหน้าที่เป็นสื่อกลางในการแลกเปลี่ยนหน่วยบัญชีและการเก็บรักษาคุณค่าเรียกว่า thaman (ไม่จำเป็นต้อง จำกัด เฉพาะเงินทองแอมป์) การอ้างอิงที่คล้ายกันมีอยู่ในงานเขียนของอิหม่าม Ghazzali5 เท่าที่มุมมองของอิมาม Sarakhshi เกี่ยวข้องกับการแลกเปลี่ยนที่เกี่ยวข้องกับ fals ตามที่พวกเขาบางจุดเพิ่มเติมต้องทราบ ในช่วงต้นของอิสลาม dinars และ dirhams ทำจากทองและเงินส่วนใหญ่ใช้เป็นสื่อในการแลกเปลี่ยนในการทำธุรกรรมที่สำคัญทั้งหมด เฉพาะผู้เยาว์เท่านั้นที่ถูกตัดสินด้วย fals กล่าวได้ว่า Fals ไม่มีลักษณะของเงินหรือ Thamaniyya เต็มรูปแบบและแทบจะไม่ค่อยนำมาใช้เป็นที่เก็บรักษาคุณค่าหรือหน่วยของบัญชีและมีลักษณะเป็นสินค้าโภคภัณฑ์มากขึ้น ดังนั้นจึงไม่มีข้อ จำกัด ในการซื้อทองคำและเงินดังกล่าวในรูปแบบรอการตัดบัญชี สกุลเงินในปัจจุบันมีคุณลักษณะทั้งหมดของ thaman และมีไว้สำหรับการอ้างอิงเท่านั้น การแลกเปลี่ยนเกี่ยวกับสกุลเงินของประเทศต่างๆก็เหมือนกับ bai-sarf ที่มีความแตกต่างของ jins ดังนั้นการชำระเงินรอตัดบัญชีจะนำไปสู่ ​​riba al-nasia ดร. Mohamed Nejatullah Siddiqui แสดงให้เห็นถึงความเป็นไปได้นี้ด้วยตัวอย่างที่ 6 เขาเขียนในช่วงเวลาที่กำหนดในเวลาที่อัตราแลกเปลี่ยนในตลาดระหว่างดอลล่าร์กับรูปีเท่ากับ 1:20 ถ้าการซื้อของแต่ละบุคคล 50 ในอัตรา 1:22 (การชำระหนี้สินในรูปีที่รอการตัดบัญชีเป็นวันที่ในอนาคต) มันเป็นไปได้สูงว่าเขาเป็น ในความเป็นจริงการยืม Rs 1000 แทนคำมั่นสัญญาว่าจะคืน Rs 1100 ในวันที่ระบุภายหลัง (ตั้งแต่ตอนนี้เขาสามารถหา Rs 1000 ตอนนี้แลก 50 ซื้อเครดิตในอัตราที่จุด) ดังนั้น sarf สามารถแปลงเป็นเงินกู้ดอกเบี้ย borrowing amp 2.1.3 การกำหนด Thamaniyya เป็นกุญแจสำคัญที่ปรากฏจากการสังเคราะห์มุมมองทางเลือกข้างต้นว่าประเด็นสำคัญดูเหมือนจะเป็นคำจำกัดความที่ถูกต้องของ Thamaniyya ตัวอย่างเช่นคำถามพื้นฐานที่นำไปสู่ตำแหน่งที่แตกต่างกันเกี่ยวกับการอนุญาตที่เกี่ยวข้องกับว่า Thamaniyya เป็นเฉพาะทองและเงินหรือสามารถเชื่อมโยงกับสิ่งที่มีประสิทธิภาพการทำงานของเงิน เรานำประเด็นด้านล่างขึ้นมาซึ่งอาจนำมาพิจารณาในการออกกำลังกายใด ๆ ในการพิจารณาตำแหน่งอื่น ๆ ใหม่ ควรจะชื่นชมว่า thamaniyya อาจไม่แน่นอนและอาจแตกต่างกันไปในองศา มันเป็นความจริงที่สกุลเงินกระดาษได้เปลี่ยนทองและสีเงินเป็นสื่อกลางของการแลกเปลี่ยนหน่วยบัญชีและการเก็บรักษามูลค่า ในแง่นี้สกุลเงินของกระดาษอาจกล่าวได้ว่ามี thamaniyya อย่างไรก็ตามนี่เป็นความจริงสำหรับสกุลเงินในประเทศเท่านั้นและอาจไม่เป็นความจริงสำหรับสกุลเงินต่างประเทศ กล่าวอีกนัยหนึ่งรูปีอินเดียมี Thamaniyya อยู่ในขอบเขตทางภูมิศาสตร์ของอินเดียเท่านั้นและไม่มีการยอมรับใด ๆ ในสหรัฐอเมริกา เหล่านี้ไม่สามารถกล่าวได้ว่ามี Thamaniyya ในสหรัฐฯเว้นแต่พลเมืองของสหรัฐอเมริกาสามารถใช้รูปีอินเดียเป็นสื่อกลางในการแลกเปลี่ยนหรือหน่วยบัญชีหรือร้านค้าที่มีมูลค่าได้ ในกรณีส่วนใหญ่เช่นความเป็นไปได้คือระยะไกล ความเป็นไปได้นี้เป็นกลไกของกลไกอัตราแลกเปลี่ยนเช่นความสามารถในการแปลงค่ารูปีอินเดียเป็นเหรียญสหรัฐและระบบอัตราแลกเปลี่ยนแบบคงที่หรือแบบลอยตัวอยู่ในสถานที่หรือไม่ ตัวอย่างเช่นสมมติว่าการแปลงสภาพของรูปีอินเดียเป็นสกุลเงินดอลลาร์สหรัฐฯและในทางกลับกันและระบบอัตราแลกเปลี่ยนแบบคงที่ซึ่งอัตราแลกเปลี่ยนเงินรูปี - ดอลล่าร์ไม่คาดว่าจะเพิ่มขึ้นหรือลดลงในอนาคตที่คาดการณ์ได้ค่าทาร์ซานีของรูปีในสหรัฐฯดีขึ้นมาก . ตัวอย่างที่ยกมาโดย Dr Nejatullah Siddiqui ยังปรากฏอยู่ในสถานการณ์ที่ค่อนข้างแข็งแกร่ง ได้รับอนุญาตให้แลกเปลี่ยนรูปีสำหรับดอลลาร์เป็นระยะเวลารอตัดบัญชี (จากปลายด้านหนึ่งแน่นอน) ในอัตราที่แตกต่างจากอัตราจุด (อัตราทางการซึ่งมีแนวโน้มที่จะคงที่จนถึงวันที่การชำระบัญชี) จะเป็นกรณีที่ชัดเจนของดอกเบี้ย การยืมและให้ยืม However, if the assumption of fixed exchange rate is relaxed and the present system of fluctuating and volatile exchange rates is assumed to be the case, then it can be shown that the case of riba al-nasia breaks down. We rewrite his example: In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 purchased on credit at spot rate) This would be so, only if the currency risk is non-existent (exchange rate remains at 1:20), or is borne by the seller of dollars (buyer repays in rupees and not in dollars). If the former is true, then the seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 (at an exchange rate of 1:20). However, if the latter is true, then the return to the seller (or the lender) is not predetermined. It need not even be positive. For example, if the rupee-dollar exchange rate increases to 1:25, then the seller of dollar would receive only 44 (Rs 1100 converted into dollars) for his investment of 50. Here two points are worth noting. First, when one assumes a fixed exchange rate regime, the distinction between currencies of different countries gets diluted. The situation becomes similar to exchanging pounds with sterlings (currencies belonging to the same country) at a fixed rate. Second, when one assumes a volatile exchange rate system, then just as one can visualize lending through the foreign currency market (mechanism suggested in the above example), one can also visualize lending through any other organized market (such as, for commodities or stocks.) If one replaces dollars for stocks in the above example, it would read as: In a given moment in time when the market price of stock X is Rs 20, if an individual purchases 50 stocks at the rate of Rs 22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 stocks purchased on credit at current price) In this case too as in the earlier example, returns to the seller of stocks may be negative if stock price rises to Rs 25 on the settlement date. Hence, just as returns in the stock market or commodity market are Islamically acceptable because of the price risk, so are returns in the currency market because of fluctuations in the prices of currencies. A unique feature of thaman haqiqi or gold and silver is that the intrinsic worth of the currency is equal to its face value. Thus, the question of different geographical boundaries within which a given currency, such as, dinar or dirham circulates, is completely irrelevant. Gold is gold whether in country A or country B. Thus, when currency of country A made of gold is exchanged for currency of country B, also made of gold, then any deviation of the exchange rate from unity or deferment of settlement by either party cannot be permitted as it would clearly involve riba al-fadl and also riba al-nasia. However, when paper currencies of country A is exchanged for paper currency of country B, the case may be entirely different. The price risk (exchange rate risk), if positive, would eliminate any possibility of riba al-nasia in the exchange with deferred settlement. However, if price risk (exchange rate risk) is zero, then such exchange could be a source of riba al-nasia if deferred settlement is permitted7. Another point that merits serious consideration is the possibility that certain currencies may possess thamaniyya, that is, used as a medium of exchange, unit of account, or store of value globally, within the domestic as well as foreign countries. For instance, US dollar is legal tender within US it is also acceptable as a medium of exchange or unit of account for a large volume of transactions across the globe. Thus, this specific currency may be said to possesses thamaniyya globally, in which case, jurists may impose the relevant injunctions on exchanges involving this specific currency to prevent riba al-nasia. The fact is that when a currency possesses thamaniyya globally, then economic units using this global currency as the medium of exchange, unit of account or store of value may not be concerned about risk arising from volatility of inter-country exchange rates. At the same time, it should be recognized that a large majority of currencies do not perform the functions of money except within their national boundaries where these are legal tender. Riba and risk cannot coexist in the same contract. The former connotes a possibility of returns with zero risk and cannot be earned through a market with positive price risk. As has been discussed above, the possibility of riba al-fadl or riba al-nasia may arise in exchange when gold or silver function as thaman or when the exchange involves paper currencies belonging to the same country or when the exchange involves currencies of different countries following a fixed exchange rate system. The last possibility is perhaps unIslamic8 since price or exchange rate of currencies should be allowed to fluctuate freely in line with changes in demand and supply and also because prices should reflect the intrinsic worth or purchasing power of currencies. The foreign currency markets of today are characterised by volatile exchange rates. The gains or losses made on any transaction in currencies of different countries, are justified by the risk borne by the parties to the contract. 2.1.4. Possibility of Riba with Futures and Forwards So far, we have discussed views on the permissibility of bai salam in currencies, that is, when the obligation of only one of the parties to the exchange is deferred. What are the views of scholars on deferment of obligations of both parties. Typical example of such contracts are forwards and futures9. According to a large majority of scholars, this is not permissible on various grounds, the most important being the element of risk and uncertainty (gharar) and the possibility of speculation of a kind which is not permissible. This is discussed in section 3. However, another ground for rejecting such contracts may be riba prohibition. In the preceding paragraph we have discussed that bai salam in currencies with fluctuating exchange rates can not be used to earn riba because of the presence of currency risk. It is possible to demonstrate that currency risk can be hedged or reduced to zero with another forward contract transacted simultaneously. And once risk is eliminated, the gain clearly would be riba. We modify and rewrite the same example: In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), and the seller of dollars also hedges his position by entering into a forward contract to sell Rs1100 to be received on the future date at a rate of 1:20, then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 dollars purchased on credit at spot rate) The seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 dollars (at an exchange rate of 1:20) for his investment of 50 dollars irrespective of the market rate of exchange prevailing on the date of maturity. Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction. For example, the individual in the above example purchases 50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell 50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10 3. The Issue of Freedom from Gharar 3.1 Defining Gharar Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exc hange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party - whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract - speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. การอภิปรายเกี่ยวกับข้อห้ามของ riba ขึ้นอยู่กับมุมมองเหล่านี้ 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Send Your Comments to: Dr Mohammed Obaidullah, Xavier Institute of Management, Bhubaneswar 751 013, IndiaFatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan yang pasti ditanyakan oleh setiap trader di Indonesia. 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Trading Forex diperbolehkan dalam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita bahas dengan artikel yang pertama. Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. ---gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pe mbeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterima kan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. ( Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 28DSN-MUIIII2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis. ข Bahwa dalam urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. ค Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2:275: . Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri:Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR. albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari Ubadah bin Shamit, Nabi s. a.w bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.. 4. Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi s. a.w bersabda: (Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, Nabi s. a.w bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam. Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no. UUS2878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIAPembahasan kali ini mencakup tentang apakah forex halal atau haram, Apakah forex sama dengan judi, dan bagaimana hukum forex dalam Islam. Forex adalah salah satu bisnis yang dapat dilakukan secara online. Karena bisnis ini berfisat fleksibel, artinya dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun, tidak heran apabila semakin banyak orang tertarik untuk menggeluti bisnis perdagangan valas ini. Namun, disisi lain Trading Forex menimbulkan polemik baru. Hingga saat ini masih banyak perdebatan apakah forex itu halal ataukah haram. Mungkin anda saat ini pun juga sedang mencari tahu kebenaran tentang halal atau haram nya Forex dari kedua perbedaan pendapat tersebut. Trading Forex halal atau haram Dalam kesempatan ini, saya akan menyajikan penjelasan secara rinci tentang hukum Trading Forex dalam berbagai sudut pandang. Sehingga setelah anda membaca artikel ini, anda akan mendapatkan gambaran jelas dari berbagai sumber dan anda dapat menyimpulkan sendiri nantinya. Apakah Forex sama dengan judi Tidak sedikit orang beranggapan bahwa Forex sama dengan judi. Hal ini mungkin dikarenakan orang orang tersebut berpandangan bahwa dalam bisnis forex bisa mengakibatkan kerugian besar dalam waktu singkat. Selain itu, orang orang awam dalam dunia Forex juga berfikir bahwa bekerja di Forex cukup dengan duduk duduk dan mendapatkan uang. Benarkah Forex sama dengan judi TIDAK . Forex bukanlah judi, akan tetapi Forex murni perdagangan, yaitu perdagangan mata Uang. Berikut ini saya uraikan faktor faktor pembeda Judi dengan Forex. Judi bersifat untung untungan, sedangkan Forex tidak. Karena dalam Trading Forex dapat dilakukan analisa, yaitu analisa secara teknikal dan fundamental. Judi bersifat merugikan lawan, sedangkan dalam Forex bersifat win win solution, bersifat saling menguntungkan. Dalam judi tidak ada Produk yang diperdagangkan, sedangkan Forex produknya jelas, yaitu mata uang yang diperjual belikan. Hasil dari judi tidak bisa di prediksikan, sedangkan dalam Forex terdapat Money Management yang jelas, sehingga batas kerugian dan keuntungan dapat di kontrol dengan baik. Judi bersifat tidak pasti, sedangkan dalam Forex bisa dipastikan 100 apabila harga sudah terlalu tinggi maka harga akan turun, begitu juga sebaliknya ketika harga sudah terlalu murah. Judi dilarang keras oleh Negara, sedangkan forex diperbolehkan oleh Negara. Dengan melihat keenam alasan diatas, saya yakin anda sudah dapat menyimpulkan apakah forex itu sama dengan judi atau tidak. Hukum Halal Haram trading Forex Menurut Islam Perspektif Islam dalam menentukan perihal halal dan haram sangatlah luas. Tidak hanya dalam dunia trading, akan tetapi dalam hal apapun harus sangat jelas perkaranya. Sesuatu pada dasarnya halal akan menjadi haram apabila dilakukan dengan cara tidak benar atau tidak sesuai dengan syariat Islam. Berdagang itu diperbolehkan dalam Islam, akan tetapi berdagang minuman keras haram hukumnya. Itulah yang disebut dengan perspektif. Tergantung dari sudut mana kita memandang halal haramnya. Dalam sebuah buku berjudul MASAIL FIQHIYAH, ditulis oleh seorang ahli fikih bernama Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi, menyatakan bahwa berdagang valas diperbolehkan dalam hukum Islam. Perdagangan Forex atau mata uang asing ada karena kebutuhan pasar global yang secara tidak langsung mencakup semua Negara. Untuk memenuhi kebutuhan Negara yang beraneka ragam itulah peran mata uang menjadi faktor yang paling utama. Berikut ini adalah sumber yang dapat digunakan sebagai acuan dalam polemik Forex saat ini tengah ramai diperbincangkan Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Masud) Dalam aturan jual beli, penjual harus memberitahukan dan menerangkan kepada pembeli secara rinci keadaan barang yang dijual. Penjual harus menjelaskan ciri dan sifat sifatnya. Dalam Forex, produk yang diperjualbelikan pun sangat jelas, baik sifat dan nilainya. Sehingga, setiap kali melakukan transaksinya, Forex harus dengan kesepakatan kedua belah pihak. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba Forex adalah murni jual beli dan tidak termasuk riba. Forex adalah memperdagangkan mata uang, Berbeda sekali apabila kita meminjamkan uang kepada seseorang dengan mengharapkan kembalian lebih. Dan sangat jelas bahwasannya perdagangan memang diperbolehkan. Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR. albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). Dalam forex tidak akan terjadi transaksi apabila penjual dan pembeli tidak melakukan kesepakatan (kerelaan). Jadi dalam prakteknya, tidak ada unsur pemaksaan atau penipuan yang bersifat saling merugikan. Fatwa MUI tentang Halal dan Haram nya Trading Forex Majelis Ulama Indonesia (MUI), selaku panutan dalam mengambil sebuah keputusan berdasarkan syariah Islam pun mengeluarkan fatwa tentang halal dan haram nya Trading Forex. MUI menyatakan bahwa trading forex dengan transaksi SPOT diperbolehkan. Adapun jenis transaksi yang tidak diperbolehkan yaitu transaksi swap, option, dan forward. Transaksi Spot dikategorikan halal karena penyelesaian transaksinya diselesaikan pada saat itu juga. Adapun penyelesaian paling lambat adalah 2 hari. Berikut ini adalah jenis Jenis perdagangan valas Transaksi SPOT . adalah transaksi jual beli Valas yang penyerahannya dilakukan pada saat itu juga. Apabila ada keterlambatan, harus tidak boleh lebih dari jangka waktu dua hari. Transaksi SWAP . adalah suatu kontrak jual beli valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Transaksi FORWARD . adalah transaksi jual beli Valas yang ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan pada saat akan datang. Tempo watunya nya antara 224 jam sampai dengan satu tahun. Transaksi OPTION . adalah kontrak untuk memperoleh hak beli dan hak jual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valas pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Jika kita tarik garis besarnya, Transaksi forex boleh dilakukan asalkan dengan menggunakan transaksi berjenis spot. Dalam aktifitas apapun sudah diatur hukumnya, apakah dilarang atau diperbolehkan. Untuk perkara Forex apakah halal atau haram itu semua tergantung dari bagaimana dan cara tipe transaksi dilakukan. Semoga pembahasan ini dapat memberikan gambaran jelas kepada anda mengenai Apakah Forex itu halal atau haram. Jadi sehingga anda akan dapat menarik kesimpulan sendiri. Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. ---gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pe mbeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterima kan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. ( Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat อัล Daraquthni จากอาบู Hurairah: 8220 Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. ศาสนาอิสลาม 8220Kesulitan itu menarik kemudahan.8221 Demikian juga jual beli barang-barang ยาง telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, และ sebagainya, asalkam diberi ป้ายชื่อหยาง menerangkan isinya Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 28DSN-MUIIII2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis. ข Bahwa dalam urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. ค Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2:275: . Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri:Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR. albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari Ubadah bin Shamit, Nabi s. a.w bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.. 4. Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi s. a.w bersabda: (Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, Nabi s. a.w bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam. Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no. UUS2878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIA

Comments